EMFISEMA
A. PENGERTIAN
Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The American Thorack society 1962)
B. PENYEBAB
1. FAKTOR GENETIK
Factor genetic mempunyai peran pada penyakit emfisema. Factor genetic diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
2. HIPOTESIS ELASTASE-ANTI ELASTASE
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.
3. ROKOK
Rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitits kronik dan emfisema paru. Secara patologis rokok berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.
4. INFEKSI
Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanyapun lebih berat. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronchitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.
5. POLUSI
Sebagai factor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi..
6. FAKTOR SOSIAL EKONOMI
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan social ekonomi rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan factor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
C. PATOFISIOLOGI
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.Sumber elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup.Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas.
D. PEMBAGIAN EMFISEMA
Emfisema dibagi menurut pola asinus yang terserang. Ada dua bentuk pola morfologik dari emfisema yaitu:
1. CLE (emfisema sentrilobular)
CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang. Mula-mula duktus alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok(Sylvia A. Price 1995).
2. PLE (emfisema panlobular)
Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik. Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami( Cherniack dan cherniack, 1983).
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak.Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkhiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkhiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mucus.. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkhiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.
D.MANIFESTASI KLINIS
Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun.Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.Pemeriksan radiologis
Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain.Foto dada pada emfisema paru
Terdapat dua bentuk kelainan foto dada pada emfisema paru, yaitu :
# Gambaran defisiensi arteri overinflasi Terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadangt erlihat konkaf. Oligoemia
Penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan kedistal.
# corakan paru yang bertambah. Sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.
2.Pemeriksaan fungsi paru.
Pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
3.Analisis Gas Darah
Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.
4.Pemeriksaan EKG
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1.
F. PENATA LAKSANAAN
Penata laksanaan emfisema paru terbagi atas :
1. PENYULUHAN
Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
2. PENCEGAHAN
• . ROKOK
Merokok harus dihentikan meskipun sukar. Penyuluhan dan usaha yang optimal harus dilakukan
• menghindari lingkungan polusi
Sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran nafas
• VAKSIN
Dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus.
3. TERAPI FARMAKOLOGI
Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih mempunyai komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan :
1. pemberian bronkodilator
2. pemberian kortikosteroid
3. mengurangi sekresi mucus
• Pemberian bronkodilator
a. golongan teofilin
Biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15 mg/L
b. golongan agonis B2
Biasanya diberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor,tetapi menghilang dengan pemberian agak lama.
• Pemberian kortikosteroid
• Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran nafas.Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan.
• Mengurangi sekresi mucus
? Minum cukup,supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga urine tetap kuning pucat.
? Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan amonium klorida.
? Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum.
? Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.
.
4. Fisioterapi dan Rehabilitasi
Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan vokasional.
Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :
? Mengeluarkan mucus dari saluran nafas.
? Memperbaiki efisiensi ventilasi.
? Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis
5. Pemberian O2 jangka panjang
Pemberian O2 dalam jangka panjang akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari.
G. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pemeriksaan fisik :
Inspeksi:
- Paru hiperinflasi, ekspansi dada berkurang, kesukaran inspirasi, dada berbentuk barrel chest, dada anterior menonjol, punggung berbentuk kifosis dorsal.
Palpasi :
- Ruang antar iga melebar, taktik vocal fremitus menurun,
Perkusi :
- Terdengar hipersonor, peningkatan diameter dada anterior posterior.
Auskultasi :
- Suara napas berkurang, ronkhi bisa terdengar apabila ada dahak
Pengkajian:
1. Kaji status pernapasan.
2. Kaji adanya sianosis.
3. Kaji fremitus faktil kedua paru.
4. Lakukan pemeriksaan tanda vital lengkap.
5. Kaji adanya nyeri tekan bila napas.
6. Lakukan pemeriksaan jantung dan paru, cari kemungkinan adanya payah jantung dan komplikasi COPD lainnya.
2. Diagnosa
1). Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen.
# Tujuan :
-pasien bernafas dengan efektif
-mengatasi masalah intoleransi aktivitas pada pasien.
# Kriteria hasil :
-pasien bisa mengidentifikasikan factor-faktor yang menurunkan toleran aktivitas.
- pasien memperlihatkan kemajuan khususnya dalam hal mobilitas
- pasien memperlihatkan turunnya tanda-tanda
# Intervensi :
- kaji respon individu terhadap aktivitas
• Ukur tanda vital saat istirahat dan segera setelah aktivitas serta frekuensi, irama dan kualitas.
• Hentikan aktifitas bila respon klien : nyeri dada, dyspnea, vertigo/konvusi, frekuensi nadi, pernapasan, tekanan darah sistolik menurun.
- meningkatkan aktifitas secara bertahap.
- Ajarkan klien metode penghematan energi untuk aktifitas.
# Rasionalisasi :
- mendapatkan tanda fital pasien normal, baik saat istirahat ataupun setelah beraktifitas
-masalah intoleransi aktivitas pada pasien dapat teratasi
2). Gangguan pertukaran gas berrhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
# Tujuan :
- Pertukaran gas pasien kembali normal
-Tidak terjadi perubahan fungsi pernapasan.
# Kriteria hasil :
- pasien bisa bernapas normal tanpa menggunakan otot tambahan pernapasan.
- pasien tidak mengatakan nyeri saat bernapas.
# Intervensi :
- Lakukan latihan pernapasan dalam dan tahan sebentar untuk membiarkan diafragma mengembangkan secara optimal.
- Posisikan pasien dengan posisi semi fowler agar pasien bisa melakukan respirasi dengan sempurna.
- Kaji adanya nyeri dan tanda vital berhubungan dengan latihan yang diberikan.
- Ajari pasien tentang teknik penghematan energi.
- Bantu pasien untuk mengidentifikasi tugas-tugas yang bisa diselesaikan.
# Rasionalisasi :
- Pasien bernapas dengan lancer tanpa gangguan.
- Fungsi paru kembali normal.
3). Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ventilasi alveoli
# Tujuan :
- Tidak terjadi perubahan dalam frekwensi pola pernapasan.
- Tekanan nadi (frekwensi, irama, kwalitas) normal.
# Kriteria hasil :
- Pasien memperlihatkan frekwensi pernapasan yang efektif dan mengalami perbaikan pertukaran gas pada paru.
- Pasien menyatakan factor penyebab, jika mengetahui.
# Intervensi :
- Pastikan pasien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
- Alihkan perhatian pasien dari pemikiran tentang keadaan ansietas (cemas) dengan meminta pasien mempertahankan kontak mata dengan perawat.
- Latih pasien napas perlahan-lahan, bernapas lebih efektif.
- Jelaskan pada pasien bahwa dia dapat mengatasi hiperventilasi melalui control pernapasan secara sadar.
# Rasionalisasi :
- Pola pernapasan pasien efektif.
- Ventilasi alveoli normal.
- Tidak terjadi gangguan perubuhan fungsi pernapasan.
DAFTAR PUSTAKA
Baughman,D.C & Hackley,J.C.2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2001
Mills,John & Luce,John M.1993. Gawat Darurat Paru-Paru. Jakarta : EGC
Perhimpunan Dokter Sepesialis Penyakit Dalam Indonesia. Editor Kepela : Prof.Dr.H.Slamet Suryono Spd,KE
Soemarto,R.1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya : RSUD Dr.Soetomo
0 komentar:
Posting Komentar